Jumat, 02 Juni 2017

Makna Patung Ganesa Pada RumahTinggal




MAKNA PATUNG GAṆEŚA
PADA ORNAMEN ANGKUL-ANGKUL DAN ALING-ALING
RUMAH TINGGAL UMAT HINDU MODERN DI BALI


I.       Pendahuluan
Rumah tinggal umat Hindu di Bali, baik dalam dimensi fungsi maupun dalam struktur tidak bisa dilepaskan dari sistem nilai-nilai keyakinan yang dimiliki oleh pemiliknya. Rumah tinggal tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal manusia semata sebagai pemilik rumah, tetapi juga tempat tinggal Sanghyang Widhi dan manifestasi-Nya, serta para roh leluhur yang dipuja oleh pemilik rumah tinggal, termasuk para bhuta yang diyakini bisa memberikan perlindungan dari hal-hal buruk.
Fungsi-fungsi tersebut berimplikasi pada struktur rumah tinggal umat Hindu di Bali. Sistem nilai yang mendasari struktur rumah tinggal, di antaranya sistem nilai “hulu teben”. Hal-hal yang diyakini suci akan ditempatkan pada wilayah hulu, yaitu di sebelah kaja atau kangin dari struktur rumah tinggal. Dari posisi hulu, lalu diikuti tempat pemilik rumah tinggal melakukan aktvitias duniawi. Sedangkan pada bagian teben yaitu sebelah kelod atau kauh dipersonifikasikan sebagai tempat para bhuta yang diyakini memberikan perlidungan dan kenyamanan, sehingga pemilik rumah tinggal menemukan sundharam.
Wujud keyakinan terhadap sistem-sistem religius tersebut, yang kemudian divisualisasikan dalam seni rupa patung dan seni bangunan. Salah satu seni patung yang mulai berkembang di beberapa rumah tinggal umat Hindu modern di Bali dewasa ini adalah penempatan patung Gaṇeśa pada angkul-angkul atau di aling-aling, yang nota bene dalam struktur ruang secara horizontal berada pada posisi teben. Pertanyaan secara sederhana, bagamanakah tata letak penempatan patung Gaṇeśa pada angkul-angkul atau pada aling-aling rumah tinggal apabila dilihat dari konsep “satyam sivam sundharam” ? Untuk membahasa hal ini, berikut penulis memaparkan tentang : Pengertian dan Kedudukan Dewa Ganesa dalam Ajaran Agama Hindu, Ornamen angkul-angkul dan aling-aling dalam rumah tinggal modern Umat Hindu di Bali, dan makna Patung Gaṇeśa pada ornament angkul-angkul atau aling-aling rumah tinggal modern di Bali : perspektif hulu teben.
Penyusunan makalah ini menggunakan metode observasi untuk mendapatkan data trend pemanfaatan ornamen patung Gaṇeśa pada angkul-angkul atau di aling-aling. Kemudian didukung dengan metode kepustakaan dalam rangka mendapatkan data makna patung Gaṇeśa pada angkul-angkul atau di aling-aling rumah tinggal umat Hindu modern di Bali. Data yang telah dikumpulkan lalu dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif untuk menemukan kesimpulan terhadap permasalahan yang telah ditetapkan.

II.    Pembahasan
2.1.      Pengertian dan Kedudukan Dewa Ganesa dalam Ajaran Agama Hindu
Gaṇeśa adalah salah satu dewa yang diyakini dalam agama Hindu dan populer dalam mewarnai aktivitas sosial keagamaan umat Hindu, tak terkecuali dengan umat Hindu di Bali hingga saat ini. Nama Ganesa adalah sebuah kata majemuk dalam bahasa Sanskerta, terdiri dari kata gana , berarti kelompok, orang banyak, atau sistem pengelompokan, dan isha (īśa), berarti penguasa atau pemimpin. Kata gana ketika dihubungkan dengan Ganesa seringkali merujuk kepada para gana, pasukan makhluk setengah dewa yang menjadi pengikut Siwa. Istilah itu secara lebih umum berarti golongan, kelas, komunitas, persekutuan, atau perserikatan. Ganapati  nama lain Ganesa, adalah kata majemuk yang terdiri dari kata gana, yang berarti "kelompok", dan pati, berarti "pengatur" atau "pemimpin". Kitab Amarakosha, yaitu Kamus Bahasa Sanskerta, memiliki daftar delapan nama lain Ganesa: Winayaka, Wignaraja (sama dengan Wignesa), Dwaimatura (yang memiliki dua ibu), Ganadipa (sama dengan Ganapati dan Ganesa), Ekadanta (yang memiliki satu gading), Heramba, Lambodara (yang memiliki perut bak periuk, atau, secara harfiah, yang perutnya bergelayutan), dan Gajanana, yaitu yang bermuka gajah (https://id.wikipedia.org/wiki/Ganesa; Diakses pada Minggu, 16 Oktober 2016; Pkl. 08.20 Wita). Jadi kata Ganesa merupakan gabungan kata “gaṇa” dan “Iśa” setelah mengalami persandian, dimana huruf  “a” disandikan dengan huruf “i” berubah menjadi huruf “e”, sehingga menjadi “Gaṇeśa”.
Kata “Gaṇeśa” juga memiliki makna kecerdasan dan keckebijaksanaan; dimana kata “ga” merupakan simbol budhi (kecerdasan) dan “na” berasal dari kata ”vijñāna” kebijaksanaan (Wirawan, 2011 : 3-4). Gaṇeśa digambarkan sebagai manusia berkepala gajah. Dalam kenyataan, gajah merupakan makhluk paling cerdas di antara para binatang. Gajah juga memiliki kesabaran dan ingatan yang sangat tajam (Wirawan, 2011 : 4). Salah satu nama Ganesa dalam Ganeshapurana dan Ganesa Sahasranama adalah Buddhipriya. Nama ini juga muncul dalam daftar 21 nama di akhir Ganesa Sahasranama yang amat penting. Kata priya bisa berarti "yang tercinta", dan dalam konteks suami-istri bisa berarti "kekasih" atau "suami", maka nama Buddhipriya bisa saja berarti "Yang dicintai oleh kecerdasan" atau "Suami Buddhi" (https://id.wikipedia.org/wiki/Ganesa; Diakses pada Minggu, 16 Oktober 2016; Pkl. 08.20 Wita).
Ajaran Agama Hindu meyakini bahwa Gaṇeśa adalah putra Dewa Siwa dan Dewi Parwati, yang dipuja sebagai Dewa Kebijaksanaan Ilmu Pengetahuan dan Dewa penghalau rintangan (Wirawan, 2011 : 1). Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Gaṇeśa merupakan simbol kebijaksanaan ilmu pengetahuan, sehingga banyak dipuja oleh mereka yang menginginkan dan mengagungkan ilmu pengetahuan. Hal ini antara lain, ditandai dengan penggunaan Dewa Gaṇeśa sebagai simbol dan nama beberapa perguruan tinggi di Bali yang berafiliasi Hindu. Dewa Gaṇeśa  digunakan sebagai lambang Perguruan Tinggi Mahasaraswati. Dewa Gaṇeśa juga dipakai sebagai nama universitas negeri di Singaraja yaitu Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha). Dalam wacana paradigm kelimuan Agama Hindu pun, menurut Atmadja (2016) bahwa Gaṇeśa merupakan symbol paradigma positifistik yaitu paradigm yang melandasi ilmu-ilmu alam atau sains.
Di sisi lain, Dewa Gaṇeśa juga dipuja sebagai pelindung manusia dari unsur-unsur negatif. Kesadaran kosmis umat Hindu tentang unsur-unsur negatif secara niskala digambarkan sebagai bhuta kala. Ketika manusia tak mampu membangun hubungan yang selaras dengan alam maka kekuatan-kekuatan bhuta kala akan menimbulkan ketidakharmonisan terhadap kehidupan manusia. Ketika ketidakharmonisan menimpa manusia Hindu, maka merekapun memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Gaṇeśa untuk menetralisir kekuatan-kekuatan bhuta kala yang diyakini sebagai penyebabnya.
Masyarakat Hindu di Bali mewujudkan keyakinan tersebut dalam sebuah upacara yang disebut “Rsigana”. Rsigana adalah persembahan untuk menetralisir kekuatan alam yang dapat mengganggu areal pemujaan. Dewa Gana atau Bhatara Gana  dimohon kehadiran serta anugerah-Nya untuk mengubah kekuatan Bhuta Kala, yang cenderung merusak, menjadi kekuatan welas asih, yang melindungi serta memberikan kebahagiaan (https://kajianteologi. blogspot.co.id/2016/05/peranan-penting-dewa-ganeshadalam.html?m=1; Diakses pada Minggu, 16 Oktober 2016; Pkl. 10.06 Wita).
Uraian-uraian tersebut menunjukkan bahwa Gaṇeśa adalah salah satu Dewa yang dipuja umat Hindu dalam manifestasinya sebagai pemberi kebijaksanaan ilmu pengetahuan dan penetralisir unsur-unsur negatif yang ada di alam kosmis. Gaṇeśa sebagai manifestasi Sanghyang Widhi Wasa yang merupakan sumber inspirasi yang mendasari kreativitas umat Hindu dalam mewujudkan kerinduannya terhadap Tuhan. Oleh karena itu, penempatan  patung Dewa Gaṇeśa perlu mempertimbangkan kaidah-kaidah tata ruang (mandala) menurut etika-religius Hindu.

2.2.       Ornamen Angkul-Angkul dan Aling-Aling pada Rumah Tinggal Umat Hindu Modern di Bali
Rumah tinggal Umat Hindu di Bali selain menampung aktivitas kebutuhan hidup seperti: tidur, makan, istirahat juga untuk menampung kegiatan yang bertujuan untuk kepentingan psikologis, seperti melaksanakan upacara keagamaan dan adat. (Sulistyawati, dkk (1985) dalam Dwijendra, 2003 : 9).
Oleh karena itu, rumah tinggal di Bali, khususnya yang beragama Hindu secara konseptual memiliki orientasi tata ruang yang unik. Struktur areal dan tata letak bangunan senantiasa berorientasi pada nilai-nilai ajaran agama Hindu.Struktur areal rumah tinggal bagi Umat Hindu Bali didasari oleh konsep tri angga, yaitu, areal utama angga, madya angga dan nista angga (Sulistyawati, dkk (1985) dalam Dwijendra, 2003 : 11). Pada areal utama angga yang dimaknai sebagai wilayah suci, merupakan tempat pemujaan berupa sanggah atau merajan, Pada areal madya angga yang dimaknai sebagai alam tengah sebagai wilayah duniawi kemanusiaan yaitu temapt pemilik rumah melaksanakan aktivitas kehidupan keduniawian atau lasim disebut “tegak umah”. Adapun areal nista angga merupakan pembatas wilayah aktivitas keduniawaian pemilik rumah dengan dunia luar, yang salah sarunya ditandai dengan bangunan angkul-angkul dan terkadang disertai bangunan aling-aling. Berikut gambar struktur ideal bangunan pada rumah tinggal umat Hindu di Bali.
Description: https://infoobjek.files.wordpress.com/2013/05/rumah-bali.jpg
Adapun Keterangan struktur bangunan rumah tinggal tersebut adalah :
  1. Pamerajan; adalah tempat persembhyangan pada rumah tradisional Bali. Letaknya berada pada area utama/suci pada rumah tradisional Bali.
  2. Umah Meten/ Bale Daja; yaitu bangunan yang letaknya di utara pekarangan. Fungsinya sebagai tempat tidur dan juga sebagai tempat menjamu tamu yang berkunjung
  3. Bale Dauh; bale ini biasanya digunakan untuk tempat tidur anak-anak atau anggota keluarga lain yang masih kecil.
  4. Bale Dangin; biasanya digunakan sebagai tempat melakukan upacara, seperti pernikahan, potong gigi
  5. Bale Delod; biasanya dipakai untuk tempat tidur, dan melakukan kegiatan lainnya, seperti membuat alat-alat upacara
  6. Lumbung; sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen, berupa padi dan hasil kebun lainnya.
  7. Paon (Dapur); yaitu tempat memasak bagi keluarga.
  8. Aling-aling; berfungsi sebagai pengalih jalan masuk sehingga jalan masuk tidak lurus kedalam tetapi menyamping. Hal ini dimaksudkan agar pandangan dari luar tidak langsung lurus ke dalam.
  9. Angkul-angkul/ pemesuan yaitu sebagai tempat masuk dan keluar pekarangan

Di tengah-tengah perkembangan pesat bangunan-bangunan, seperti di daerah perkotaan di Bali, struktur tata letak bangunan rumah tinggal mengalami perubahan. Hal ini tidak terlepas dari kelangkaan lahan pemukiman penduduk. Struktur areal bangunan rumah tempat tinggal telah mengalami penyederhaan bangunan, walaupun masih tetap berlandaskan pada konsep tri angga. Struktur bangunan rumah tinggal dewasa ini dapat dipilah menjadi. Bangunan merajan, bale (banguan rumah), paon, dan angkul-angkul (kadang dilengkapi aling-aling). Bahkan ada juga bale menyatu dengan paon, sehingga struktur bangunan hanya terdiri dari pamerajan, bale, dan angkul-angkul.
Khusus mengenai angkul-angkul pada bangunan tempat tinggal umat Hindu di Bali pun tidak terlepas dari perkembangan sesuai dengan pemahaman dan seni arsitekturnya. Pada masyarakat tradisional Bali, menurut Purnawan (dalam http://www.isi-dps.ac.id/berita/kajian-fungsi-bentuk-dan-makna-angkul-angkul-rumah-adat-penglipuran-bagian-iii/; diakses pada Sabtu, 8 Oktober 2016; pkl. 08.33 Wita) bahwa angku-angkul merupakan pintu masuk utama ke pekarangan rumah adat tradisional Bali yang berada di depan rumah menghadap ke arah rurung gede (jalan utama). Angkul-angkul ada yang terbuka atau tanpa pintu, khusus berlaku di daerah Penglipuran, Bangli dan ada yang berisi pintu kwadi dan aling-aling seperti pada bangunan rumah tempat tinggal tradisional Bali pada umumnya. Berikut Beberapa gambar angkul-angkul yang lasim dijumpai di rumah tinggal umat Hindu di Bali.
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi_WZpGQJPyO8W1P059ITQ5KM69cwDifFBzNLWgxlzrBYk-Gn39qR8lmkqszLdD5sllOhU9gNYnVBSO9I6qywoTigqkQndO_sBfhTb8mQovhsMVjU1gMVgfERpJVv6mI-yP3ILqArExj09J/s1600/1+angkul.jpg
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEicq-DLDzUrubFtGEkmmqUqdSSDXKw_1wS8qUcB9CtBwoWmEUD7I2Qpbu4gisyktH6rCV7jLLKWYd5XGwsBdzPOCw-SMg-I0O2aH4aLR19KANvQEgEJlcmm9Q8A3cTAFiUzfMxg7LMG4WtT/s1600/1+angkul.jpg
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhpsN8HTZiduFtydHskfuImInCDGoD13yvzvYkyjp2tqjn9hxV_e1YCw8_pqv1febAZEQByf10XrlLdWPSYxBiUy4YXrF_z4iK5pBwd1uNj6u2xcLZSoPsXh0wGhDCVM40QgpL2vaPiEcGm/s1600/1+angkul.jpg
(Sumber : http://cakepane.blogspot.co.id/2015/02/angkul-angkul-atau-gerbang-rumah-adat.html; Diakses pada Sabtu, 8 Oktober 2016; Pkl. 08.59 Wita)

Ada beberapa ornament yang biasa dtemukan pada angkul-angkul dan termasuk juga pada aling-aling bangunan tempat tinggal masyarakat Hindu di Bali. Ragam hias angkul-angkul terdapat pada bagian kepala, badan dan kaki angkul-angkul maupun kelengkapannya. Ragam hias yang menghiasi gidat atau bagian atas dari angkul-angkul, selain teterek dan mas-masan yang sederhana juga dapat berupa karang boma, karang sae atau juga dapat berupa bunbunan. Karang boma yang merupakan simbol penjaga keselamatan atau pelindung terhadap kejahatan, sedangkan karang sae seringkali dipergunakan untuk puri.  Untuk paumahan atau perumahan seringkali dipergunakan bunbunan yang merupakan ragam hias yang menggambarkan flora. Sedangkan pada bagian penutup atap, sering dilengkapi dengan dore, gegodeg, ikut teledu, util, murda dan bentala (dalam http://cakepane.blogspot. co.id/2015/02/angkul-angkul-atau-gerbang-rumah-adat.html; Dikases pada Sabtu, 8 Oktober 2016; Pkl. 08.59 Wita).
Selanjutnya diuraikan bahwa pada bagian kaki angkul-angkul biasanya dihiasi ornament patung, dan biasanya tokoh-tokoh seram seperti Dwarapala, tokoh parekan dalam pewayangan (seperti Merdah dan Tualen), atau tokoh manusia sedang menabuh gambelan, membawa senjata, sampai karakter lucu. Berikut sebagian ornament yang dilazim digunakan pada angkul-angkul berupa patung tokoh parekan dalam pewayangan dan bunbunan.
Description: D:\DATA TRANSFER NEW\MATERI KULIAH S3\TUGAS MANDIRI\IMG20161008155948.jpg
Description: D:\DATA TRANSFER NEW\MATERI KULIAH S3\TUGAS MANDIRI\IMG20161008155049.jpg
Hasil Observasi  Oktober 2016.
Namun demikian, ornament angkul-angkul dan aling-aling pada rumah tinggal mengalami perkembangan dewasa ini. Ornament patung Dewa Ganesha dapat pun mulai dijumpai pada angkul-angkul dan terkadang di aling-aling rumah tinggal umat Hindu modern. Berikut hasil pengamatan penulis tentang pemanfaatan Patung Dewa Ganesha sebagai oranemen pada aling-aling rumah tinggal umat Hindu modern di daerah Tatasan, Denpasar dan di Mengwi, Badung Propinsi Bali.
Description: D:\DATA TRANSFER NEW\MATERI KULIAH S3\TUGAS MANDIRI\IMG20161008161253.jpg
Description: D:\DATA TRANSFER NEW\MATERI KULIAH S3\KUMPULAN REFERENSI KULIAH DAN TUGAS\IMG20161016132058.jpg
(Sumber : Hasil Observasi tanggal, 8 & 16 Oktober 2016)
Demikian juga hasil pengamatan penulis terhadap Patung Dewa Ganesha sebagai ornament pada angkul-angkul rumah tinggal orang Hindu Bali modern di daerah Mengwi Badung Propinsi Bali sebagai berikut :
Description: D:\DATA TRANSFER NEW\MATERI KULIAH S3\KUMPULAN REFERENSI KULIAH DAN TUGAS\IMG20161016132315.jpg
Description: D:\DATA TRANSFER NEW\MATERI KULIAH S3\KUMPULAN REFERENSI KULIAH DAN TUGAS\IMG20161016131932.jpg
(Sumber : Hasil Observasi tanggal 16 Oktober 2016)

2.3.      Makna Patung Gaṇeśa pada Ornamen Angkul-Angkul atau Aling-Aling Rumah Tinggal Umat Hindu Modern di Bali : : Perspektif Hulu Teben.
Masyarakat Hindu di Bali hingga kini masih sangat meyakini akan konsep ruang yang disebut “Hulu teben”. Ada beberapa acuan penentuan zona hulu teben dalam masyarakatt Hindu di Bali. Dalam Jurnal Pemukiman Natah” Volume1 Nomor 1, Pebruari 2016 dikemukakan dua dasar penentuan hulu teben. Pertama, berdasarkan sumbu bumi yaitu gunung sebagai kaja dan laut sebagai kelod. Kedua, berdasarkan arah tinggi-rendah suatu tempat yaitu tempat yang lebih tinggi disebut tegeh dan yang lebih rendah disebut lebah, Ketiga, berdasarkan sumbu matahari, yaitu arah matahari terbit (timur) sebagai kangin dan arah matahari terbenam (barat) sebagai kauh (Sulistyawati, dkk. (1985) dalam Dwijendra, 2003 : 11). Ada juga patokan lain, seperti yang berlaku pada umumnya di daerah Tabanan, yaitu berdasarkan jalan raya utama (rurung gede). Ruang yang berbatasan langsung dengan jalan utama merupakan hulu, sebaliknya merupakan teben. Pembagian zona hulu teben tersebut merupakan pembagian zona ruang secara horizontal. Namun di sisi yang lain ada juga pembagian zona secara vertical. Akasa merupakan ruang di atas puncak suatu bangunan diyakini sebagai hulu, dan ruang tepat di atas permukaan tanah merupakan teben.
Hulu dalam ajaran agama Hindu di Bali merupakan zona kesucian, sehingga menjadi simbol penempatan hal-hal yang berhubungan dengan realisasi keyakinan terhadap Sangyang Widhi dan segala manifestasinya, termasuk roh leluhur yang telah mencapai tingkat kesucian. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa di tingkat rumah tinggal, hulu adalah tempat sanggah atau merajan, termasuk penempatan simbol-simbol Dewa sebagai media pemujaan terhadap manifestasi Sanghyang Widhi.
Hal sebaliknya pada zona ruang teben, merupakan zona ruang nista atau lebih rendah jika dibandingkan dengan zona madya angga apalagi dengan zona utama angga sebagai hulu. Sehingga dalam keyakinan masyarakat Hindu di Bali, zona teben dari segi niskala dapat digunakan sebagai sarana proteksi dari hal-hal negatif. Maka pada zona ini dibuat angkul-angkul, aling-aling dan patung Dwarapala menjadi kesatuan fungsi proteksi secara sekala dan niskala (dalam http://cakepane.blogspot.co.id/2015/02/angkul-angkul-atau-gerbang-rumah-adat.html; Dikases pada Sabtu, 8 Oktober 2016; Pkl. 08.59 Wita).
Penempatan patung Gaṇeśa pada angkul-angkul atau di aling-aling rumah tinggal umat Hindu di Bali, seperti yang terjadi belakangan ini bisa dipastikan mengandung makna ungkapan keyakinan terhadap Bhatara Gana sebagai Dewa pelindung dari pengaruh unsur-unsur negatif secara niskala. Patung Gaṇeśa dipakai “melengkapi” bahkan mungkin menggantikan ornament mistik bangunan angkul-angkul atau aling-aling rumah tinggal umat Hindu Bali modern.
Penempatan patung Gaṇeśa pun pada bangunan angkul-angkul atau aling-aling rumah tinggal umat Hindu Bali modern bukan lagi “hanya” sebagai hiasan ornamen seni belaka (profan). Bersamaan dengan prosesi upacara yadnya pada bangunan angkul-angkul atau aling-aling yang disebut mlaspas, patung Gaṇeśa turut mengalami proses sakralisasi. Dalam istilah Mircea Aliade (dalam Pals, 2001 : 280), patung Gaṇeśa tersebut telah mengalami proses hierofani, yaitu prosesi ritual memasukkan roh kedalam suatu benda sehingga memiliki kekuatan supernatural sehingga menjadi objek pemujaan. Apalagi dalam keseharian, umat Hindu senantiasa melakukan ritual persembahan berupa canang sari atau banten lainnya pada patung Gaṇeśa. Tentu harapannya adalah mereka mendapatkan perlindungan agar terbebas dari pengaruh unsur-unsur negatif secara niskala.
Apabila dipandang dari estetika Hindu yang menempatkan kesatuan makna satyam siwam sundharam, maka penempatan patung Gaṇeśa pada angkul-angkul atau di aling-aling rumah tinggal dalam perspektif hulu teben tentu menimbulkan perdebatan. Apabila konsep hulu teben sebagai zona horizontal, maka tidak etis jika patung Gaṇeśa ditempatkan pada aling-aling atau di angkul-angkul. Bangunan aling-aling dan angkul-angkul berada di zona teben, yang dipersepsikan sebagai wilayah rendah atau tidak suci. Aling-aling dan angkul-angkul merupakan pintu keluar masuk penghuni rumah termasuk tamu, dimana mereka dalam keadaan tertentu dipandang tidak suci, misalnya perempuan dating bulan, dilalui mayat ketika anggota keluarga pemilik rumah ada yang meninggal dunia, dan sejenisnya. Dalam konteks inilah, ada beberapa pihak yang tidak setuju jika patung Gaṇeśa di halaman apalagi di aling-aling. “Tidak sembarangan bisa menaruh patung Gaṇeśa di pekarangan rumah, karena patung ini seperti layaknya sanggah bagi umat Hindu” (http://www.akriko.com/2016/07/makna-patung-dewa-ganesha-bagi-umat.html. Diakses  sabtu, 8 Oktober 2016; Pkl. 10.16 Wita).
Hal berbeda ketika zona hulu teben dipahami dari sudut vertikal. Rumah tinggal yang bukan merupakan rumah bertingkat, dimana tempat tinggal penghuni tidak lebih tinggai dari puncak bangunan angkul-angkul, maka penempatan patung Gaṇeśa pada angkul-angkul dalam keadaan tertentu masih tertoransi. Dengan kata lain, rumah bertingkat walaupun menggunakan zona vertikal sebagai acuan, juga tidak memungkinkan secara etis menempatkan patung Gaṇeśa pada angkul-angkul.



III. Simpulan
Berdasarkan uraian-uraian tersebut penulis dapat berkseimpulan bahwa penempatan patung Gaṇeśa pada angkul-angkul atau di aling-aling rumah tinggal umat Hindu Bali modern dimaknai pemiliknya sebagai pemujaan terhadap Sanghyang Gana atau Bhatara Gana dalam rangka melindungi rumah mereka dari pengaruh negatif kekuatan-kekuatan niskala.
Gejala ini merupakan indikasi sikap keberagamaan masyarakat kontemporer, yang cenderung mendobrak pakem yang sudah mapan tentang etika dan tata cara penempatan symbol-simbol agama Hindu. Namun fenomena ini perlu dianalisa secara mendalam disamping berporos pada konsep satyam siwam sundharam, juga semestinya mempertimbangkan zona sakralitas dalam ajaran agama Hindu.




Daftar Pustaka :
Atmadja, I Nengah Bawa, 2016. “Teologi Hindu sebagai Pondasi Bagi Paradigma Keilmuan”. Prosiding Seminar Internasional Menggali dan Membangun Ilmu Teologi, Teologi Hindu dan Teologi Lokal dalam Perspektif Teologi Deterministik”. Di Denpasar, tanggal 27 Juni 2016. Dilaksanakan oleh Jurusan Teologi Fakultas Brahma Widya IHDN Denpasar. Halaman : 6-16.
Dwijendra, Ngakan Ketut Acwin, 2003. “Perumahan dan Pemukiman Tradisional Bali”. Dalam Jurnal Pemukiman “Natah”. Vol. I Nomor 1 Pebruari 2003. ojs.unud.ac.id/index.php/natah/article/ download/2926/2088. Diakses pada 16 Oktober 2016; Pkl. 10.51 Wita.
https://id.wikipedia.org/wiki/Ganesa; Diakses pada Minggu, 16 Oktober 2016; Pkl. 08.20 Wita.
http://cakepane.blogspot.co.id/2015/02/angkul-angkul-atau-gerbang-rumah-adat.html; Dikases pada Sabtu, 8 Oktober 2016; Pkl. 08.59 Wita
Pals, Daniel L., 2001. Seven Theories of Religien. Dari Animisme E.B. Tylor, Materialisme Karl Marx, Hingga Antropologi Budaya C. Geertz. Yogyakarta : Qalam.
Wirawan, I Made Adi, 2011. Cahaya Kebijaksanaan Gaṇeśa, Gaṇeśa Jñāna Pradīpa. Surabaya : Paramita.

5 Komentar:

Pada 7 November 2017 pukul 16.58 , Blogger Unknown mengatakan...

Ampure,, om swastiastu..
Trus kl berdasarkan satyam siwam sundaram, penempatan ganesa dmana?

 
Pada 7 November 2017 pukul 16.58 , Blogger Unknown mengatakan...

Ampure,, om swastiastu..
Trus kl berdasarkan satyam siwam sundaram, penempatan ganesa dmana?

 
Pada 9 Mei 2019 pukul 19.38 , Blogger Unknown mengatakan...

Sepatut ne,,dije ngenahang patung Ganesa sane pas Nike sukseme.

 
Pada 28 Agustus 2019 pukul 09.49 , Blogger Unknown mengatakan...

Om Swastiastu,patung napi spatutne genahan di aling2 suksme

 
Pada 10 Desember 2019 pukul 17.39 , Blogger Unknown mengatakan...

Om swastiastu....kalau hanya di tempatkan di Aling aling..LAN Ten di sembahyangin seperti yang di ceritakan diatas...bagaimana???mohon penjelasan..apakah masih bisa hanya sebatas hiasan..???

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda