Makna Patung Ganesa Pada RumahTinggal
MAKNA PATUNG GAṆEŚA
PADA ORNAMEN ANGKUL-ANGKUL DAN
ALING-ALING
RUMAH TINGGAL UMAT HINDU MODERN DI BALI
I. Pendahuluan
Rumah tinggal umat Hindu di Bali, baik dalam dimensi
fungsi maupun dalam struktur tidak bisa dilepaskan dari sistem nilai-nilai
keyakinan yang dimiliki oleh pemiliknya. Rumah tinggal tidak hanya berfungsi
sebagai tempat tinggal manusia semata sebagai pemilik rumah, tetapi juga tempat
tinggal Sanghyang Widhi dan manifestasi-Nya, serta para
roh leluhur yang dipuja oleh pemilik rumah tinggal, termasuk para bhuta yang
diyakini bisa memberikan perlindungan dari hal-hal buruk.
Fungsi-fungsi tersebut berimplikasi pada struktur
rumah tinggal umat Hindu di Bali. Sistem nilai yang mendasari struktur rumah
tinggal, di antaranya sistem nilai “hulu
teben”. Hal-hal yang diyakini suci
akan ditempatkan pada wilayah hulu, yaitu di sebelah kaja atau kangin dari
struktur rumah tinggal. Dari posisi hulu,
lalu diikuti tempat pemilik rumah tinggal melakukan aktvitias duniawi.
Sedangkan pada bagian teben yaitu
sebelah kelod atau kauh dipersonifikasikan sebagai tempat
para bhuta yang diyakini memberikan
perlidungan dan kenyamanan, sehingga pemilik rumah tinggal menemukan sundharam.
Wujud keyakinan terhadap sistem-sistem religius
tersebut, yang kemudian divisualisasikan dalam seni rupa patung dan seni
bangunan. Salah satu seni patung yang mulai berkembang di beberapa rumah
tinggal umat Hindu modern di Bali dewasa ini adalah penempatan patung Gaṇeśa
pada angkul-angkul atau di aling-aling, yang nota bene dalam struktur
ruang secara horizontal berada pada posisi teben.
Pertanyaan secara sederhana, bagamanakah tata letak penempatan patung Gaṇeśa
pada angkul-angkul atau pada aling-aling rumah tinggal apabila dilihat dari
konsep “satyam sivam sundharam” ?
Untuk membahasa hal ini, berikut penulis memaparkan tentang : Pengertian dan
Kedudukan Dewa Ganesa dalam Ajaran Agama Hindu, Ornamen angkul-angkul dan
aling-aling dalam rumah tinggal modern Umat Hindu di Bali, dan makna Patung Gaṇeśa
pada ornament angkul-angkul atau aling-aling rumah tinggal modern di Bali :
perspektif hulu teben.
Penyusunan makalah ini menggunakan metode observasi
untuk mendapatkan data trend pemanfaatan ornamen patung Gaṇeśa pada angkul-angkul atau di aling-aling. Kemudian didukung dengan metode
kepustakaan dalam rangka mendapatkan data makna patung Gaṇeśa pada angkul-angkul atau di aling-aling rumah tinggal umat Hindu modern di
Bali. Data yang telah dikumpulkan lalu dianalisis dengan metode deskriptif
kualitatif untuk menemukan kesimpulan terhadap permasalahan yang telah
ditetapkan.
II. Pembahasan
2.1. Pengertian
dan Kedudukan Dewa Ganesa dalam Ajaran Agama Hindu
Gaṇeśa adalah salah satu dewa yang diyakini dalam
agama Hindu dan populer dalam mewarnai aktivitas sosial keagamaan umat Hindu,
tak terkecuali dengan umat Hindu di Bali hingga saat ini. Nama
Ganesa adalah sebuah kata majemuk dalam
bahasa Sanskerta, terdiri dari kata gana ,
berarti kelompok, orang banyak, atau sistem pengelompokan, dan isha (īśa),
berarti penguasa atau pemimpin. Kata gana ketika dihubungkan
dengan Ganesa seringkali merujuk kepada para gana,
pasukan makhluk setengah dewa
yang menjadi pengikut Siwa. Istilah itu secara lebih umum berarti golongan,
kelas, komunitas, persekutuan, atau perserikatan. Ganapati nama lain Ganesa, adalah kata majemuk yang
terdiri dari kata gana, yang berarti "kelompok", dan pati,
berarti "pengatur" atau "pemimpin". Kitab Amarakosha,
yaitu Kamus Bahasa Sanskerta,
memiliki daftar delapan nama lain Ganesa: Winayaka, Wignaraja
(sama dengan Wignesa), Dwaimatura (yang memiliki dua ibu), Ganadipa
(sama dengan Ganapati dan Ganesa), Ekadanta (yang memiliki
satu gading),
Heramba, Lambodara (yang memiliki perut bak periuk, atau, secara harfiah,
yang perutnya bergelayutan), dan Gajanana, yaitu yang bermuka gajah
(https://id.wikipedia.org/wiki/Ganesa;
Diakses pada Minggu, 16 Oktober 2016; Pkl. 08.20 Wita). Jadi kata Ganesa
merupakan gabungan kata “gaṇa” dan
“Iśa” setelah mengalami persandian, dimana huruf “a” disandikan dengan huruf “i” berubah
menjadi huruf “e”, sehingga menjadi “Gaṇeśa”.
Kata
“Gaṇeśa” juga memiliki makna kecerdasan
dan keckebijaksanaan; dimana kata “ga” merupakan simbol budhi (kecerdasan) dan
“na” berasal dari kata ”vijñāna”
kebijaksanaan (Wirawan, 2011 : 3-4). Gaṇeśa digambarkan sebagai manusia
berkepala gajah. Dalam kenyataan, gajah merupakan makhluk paling cerdas di
antara para binatang. Gajah juga memiliki kesabaran dan ingatan yang sangat
tajam (Wirawan, 2011 : 4). Salah satu nama Ganesa dalam Ganeshapurana
dan Ganesa Sahasranama
adalah Buddhipriya. Nama ini juga
muncul dalam daftar 21 nama di akhir Ganesa Sahasranama yang amat
penting. Kata priya bisa berarti "yang tercinta", dan dalam
konteks suami-istri bisa berarti "kekasih" atau "suami",
maka nama Buddhipriya bisa saja berarti "Yang dicintai oleh
kecerdasan" atau "Suami Buddhi" (https://id.wikipedia.org/wiki/Ganesa;
Diakses pada Minggu, 16 Oktober 2016; Pkl. 08.20 Wita).
Ajaran Agama Hindu meyakini bahwa Gaṇeśa adalah putra
Dewa Siwa dan Dewi Parwati, yang dipuja sebagai Dewa Kebijaksanaan Ilmu
Pengetahuan dan Dewa penghalau rintangan (Wirawan, 2011 : 1). Sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya bahwa Gaṇeśa merupakan simbol kebijaksanaan ilmu
pengetahuan, sehingga banyak dipuja oleh mereka yang menginginkan dan
mengagungkan ilmu pengetahuan. Hal ini antara lain, ditandai dengan penggunaan
Dewa Gaṇeśa sebagai simbol dan nama beberapa perguruan tinggi di Bali yang
berafiliasi Hindu. Dewa Gaṇeśa digunakan
sebagai lambang Perguruan Tinggi Mahasaraswati. Dewa Gaṇeśa juga dipakai
sebagai nama universitas negeri di Singaraja yaitu Universitas Pendidikan
Ganesha (Undiksha). Dalam wacana paradigm kelimuan Agama Hindu pun, menurut
Atmadja (2016) bahwa Gaṇeśa merupakan symbol paradigma positifistik yaitu
paradigm yang melandasi ilmu-ilmu alam atau sains.
Di sisi lain, Dewa Gaṇeśa juga dipuja sebagai
pelindung manusia dari unsur-unsur negatif. Kesadaran kosmis umat Hindu tentang
unsur-unsur negatif secara niskala digambarkan
sebagai bhuta kala. Ketika manusia
tak mampu membangun hubungan yang selaras dengan alam maka kekuatan-kekuatan bhuta kala akan menimbulkan ketidakharmonisan
terhadap kehidupan manusia. Ketika ketidakharmonisan menimpa manusia Hindu,
maka merekapun memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Gaṇeśa untuk
menetralisir kekuatan-kekuatan bhuta kala
yang diyakini sebagai penyebabnya.
Masyarakat Hindu di Bali mewujudkan keyakinan
tersebut dalam sebuah upacara yang disebut “Rsigana”.
Rsigana
adalah persembahan untuk menetralisir kekuatan alam yang dapat mengganggu areal
pemujaan. Dewa Gana atau Bhatara Gana dimohon kehadiran serta anugerah-Nya untuk mengubah
kekuatan Bhuta Kala, yang cenderung merusak, menjadi kekuatan welas asih, yang
melindungi serta memberikan kebahagiaan (https://kajianteologi.
blogspot.co.id/2016/05/peranan-penting-dewa-ganeshadalam.html?m=1;
Diakses pada Minggu, 16 Oktober 2016; Pkl. 10.06 Wita).
Uraian-uraian
tersebut menunjukkan bahwa Gaṇeśa
adalah salah satu Dewa yang dipuja umat Hindu dalam manifestasinya sebagai
pemberi kebijaksanaan ilmu pengetahuan dan penetralisir unsur-unsur negatif
yang ada di alam kosmis. Gaṇeśa sebagai manifestasi Sanghyang Widhi Wasa yang
merupakan sumber inspirasi yang mendasari kreativitas umat Hindu dalam mewujudkan
kerinduannya terhadap Tuhan. Oleh karena itu, penempatan patung Dewa Gaṇeśa perlu mempertimbangkan
kaidah-kaidah tata ruang (mandala) menurut
etika-religius Hindu.
2.2. Ornamen Angkul-Angkul dan Aling-Aling pada Rumah
Tinggal Umat Hindu Modern di Bali
Rumah tinggal Umat
Hindu di Bali selain menampung aktivitas kebutuhan hidup seperti: tidur, makan,
istirahat juga untuk menampung kegiatan yang bertujuan untuk kepentingan
psikologis, seperti melaksanakan upacara keagamaan dan adat. (Sulistyawati, dkk (1985) dalam Dwijendra,
2003 : 9).
Oleh karena itu, rumah tinggal di Bali, khususnya yang beragama Hindu
secara konseptual memiliki orientasi tata ruang yang unik. Struktur areal dan
tata letak bangunan senantiasa berorientasi pada nilai-nilai ajaran agama
Hindu.Struktur areal rumah tinggal bagi Umat Hindu Bali didasari oleh konsep tri angga,
yaitu, areal utama angga, madya angga
dan nista angga (Sulistyawati, dkk
(1985) dalam Dwijendra, 2003 : 11). Pada areal utama angga yang dimaknai sebagai wilayah suci, merupakan tempat
pemujaan berupa sanggah atau merajan, Pada areal madya angga yang dimaknai sebagai alam tengah sebagai wilayah
duniawi kemanusiaan yaitu temapt pemilik rumah melaksanakan aktivitas kehidupan
keduniawian atau lasim disebut “tegak
umah”. Adapun areal nista angga merupakan pembatas wilayah
aktivitas keduniawaian pemilik rumah dengan dunia luar, yang salah sarunya
ditandai dengan bangunan angkul-angkul dan
terkadang disertai bangunan aling-aling.
Berikut gambar struktur ideal bangunan pada rumah tinggal umat Hindu di Bali.

(Sumber :
https://sakasuwirna.wordpress.com/2015/05/09/rumah-tinggal-tradisional-bali-sebagai-arsitektur-nusantara/. Diakses pada sabtu, 8 Oktober
2016; Pkl. 09.24 Wita).
Adapun
Keterangan struktur bangunan rumah tinggal tersebut adalah :
- Pamerajan; adalah tempat persembhyangan pada rumah tradisional Bali. Letaknya berada pada area utama/suci pada rumah tradisional Bali.
- Umah Meten/ Bale Daja; yaitu bangunan yang letaknya di utara pekarangan. Fungsinya sebagai tempat tidur dan juga sebagai tempat menjamu tamu yang berkunjung
- Bale Dauh; bale ini biasanya digunakan untuk tempat tidur anak-anak atau anggota keluarga lain yang masih kecil.
- Bale Dangin; biasanya digunakan sebagai tempat melakukan upacara, seperti pernikahan, potong gigi
- Bale Delod; biasanya dipakai untuk tempat tidur, dan melakukan kegiatan lainnya, seperti membuat alat-alat upacara
- Lumbung; sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen, berupa padi dan hasil kebun lainnya.
- Paon (Dapur); yaitu tempat memasak bagi keluarga.
- Aling-aling; berfungsi sebagai pengalih jalan masuk sehingga jalan masuk tidak lurus kedalam tetapi menyamping. Hal ini dimaksudkan agar pandangan dari luar tidak langsung lurus ke dalam.
- Angkul-angkul/ pemesuan yaitu sebagai tempat masuk dan keluar pekarangan
Di tengah-tengah perkembangan pesat bangunan-bangunan, seperti di daerah
perkotaan di Bali, struktur tata letak bangunan rumah tinggal mengalami
perubahan. Hal ini tidak terlepas dari kelangkaan lahan pemukiman penduduk. Struktur
areal bangunan rumah tempat tinggal telah mengalami penyederhaan bangunan,
walaupun masih tetap berlandaskan pada konsep tri angga. Struktur bangunan rumah tinggal dewasa ini dapat dipilah
menjadi. Bangunan merajan, bale (banguan rumah), paon, dan angkul-angkul (kadang
dilengkapi aling-aling). Bahkan ada juga bale
menyatu dengan paon, sehingga
struktur bangunan hanya terdiri dari pamerajan,
bale, dan angkul-angkul.
Khusus mengenai angkul-angkul pada bangunan tempat tinggal umat
Hindu di Bali pun tidak terlepas dari perkembangan sesuai dengan pemahaman dan
seni arsitekturnya. Pada masyarakat tradisional Bali, menurut Purnawan (dalam http://www.isi-dps.ac.id/berita/kajian-fungsi-bentuk-dan-makna-angkul-angkul-rumah-adat-penglipuran-bagian-iii/; diakses
pada Sabtu, 8 Oktober 2016; pkl. 08.33 Wita) bahwa angku-angkul merupakan pintu
masuk utama ke pekarangan rumah adat tradisional Bali yang berada di depan
rumah menghadap ke arah rurung gede (jalan
utama). Angkul-angkul ada yang terbuka atau tanpa pintu, khusus berlaku di daerah
Penglipuran, Bangli dan ada yang berisi pintu kwadi dan aling-aling seperti
pada bangunan rumah tempat tinggal tradisional Bali pada umumnya. Berikut
Beberapa gambar angkul-angkul yang lasim dijumpai di rumah
tinggal umat Hindu di Bali.
(Sumber : http://cakepane.blogspot.co.id/2015/02/angkul-angkul-atau-gerbang-rumah-adat.html; Diakses pada Sabtu, 8 Oktober 2016; Pkl. 08.59 Wita)
Ada beberapa ornament yang biasa dtemukan pada angkul-angkul dan
termasuk juga pada aling-aling bangunan tempat tinggal masyarakat
Hindu di Bali. Ragam
hias angkul-angkul terdapat pada bagian kepala, badan dan kaki angkul-angkul
maupun kelengkapannya. Ragam hias yang menghiasi gidat atau bagian atas dari angkul-angkul, selain teterek dan mas-masan yang sederhana juga dapat berupa karang boma, karang sae atau juga dapat berupa bunbunan. Karang boma yang
merupakan simbol penjaga keselamatan atau pelindung terhadap kejahatan,
sedangkan karang sae seringkali dipergunakan untuk puri. Untuk paumahan atau perumahan seringkali
dipergunakan bunbunan yang merupakan ragam hias yang menggambarkan flora.
Sedangkan pada bagian penutup atap, sering dilengkapi dengan dore, gegodeg, ikut teledu, util, murda dan bentala (dalam http://cakepane.blogspot.
co.id/2015/02/angkul-angkul-atau-gerbang-rumah-adat.html; Dikases pada Sabtu, 8 Oktober
2016; Pkl. 08.59 Wita).
Selanjutnya diuraikan bahwa pada bagian kaki angkul-angkul
biasanya dihiasi ornament patung, dan biasanya tokoh-tokoh seram seperti Dwarapala, tokoh parekan dalam pewayangan (seperti Merdah dan Tualen), atau tokoh
manusia sedang menabuh gambelan, membawa senjata, sampai karakter lucu. Berikut
sebagian ornament yang dilazim digunakan pada angkul-angkul berupa
patung tokoh parekan dalam pewayangan dan bunbunan.
![]() |
![]() |
Hasil Observasi Oktober 2016.
Namun demikian, ornament angkul-angkul
dan aling-aling pada rumah
tinggal mengalami perkembangan dewasa ini. Ornament patung Dewa Ganesha dapat pun
mulai dijumpai pada angkul-angkul dan terkadang di aling-aling rumah tinggal umat Hindu modern. Berikut hasil pengamatan
penulis tentang pemanfaatan Patung Dewa Ganesha sebagai oranemen pada aling-aling rumah tinggal umat Hindu
modern di daerah Tatasan, Denpasar dan di Mengwi, Badung Propinsi Bali.
![]() |
![]() |
(Sumber
: Hasil Observasi tanggal, 8 & 16 Oktober 2016)
Demikian juga hasil pengamatan penulis terhadap Patung Dewa
Ganesha sebagai ornament pada angkul-angkul
rumah tinggal orang Hindu Bali modern di daerah
Mengwi Badung Propinsi Bali sebagai berikut :
![]() |
![]() |
(Sumber
: Hasil Observasi tanggal 16 Oktober 2016)
2.3. Makna
Patung Gaṇeśa pada Ornamen Angkul-Angkul atau Aling-Aling Rumah Tinggal Umat
Hindu Modern di Bali : : Perspektif Hulu
Teben.
Masyarakat Hindu di Bali hingga kini
masih sangat meyakini akan konsep ruang yang disebut “Hulu teben”. Ada beberapa
acuan penentuan zona hulu teben dalam
masyarakatt Hindu di Bali. Dalam Jurnal Pemukiman Natah” Volume1 Nomor 1,
Pebruari 2016 dikemukakan dua dasar penentuan hulu teben. Pertama,
berdasarkan sumbu bumi yaitu gunung sebagai kaja dan laut sebagai kelod. Kedua, berdasarkan arah tinggi-rendah suatu tempat yaitu tempat
yang lebih tinggi disebut tegeh dan
yang lebih rendah disebut lebah, Ketiga, berdasarkan sumbu matahari,
yaitu arah matahari terbit (timur) sebagai kangin
dan arah matahari terbenam (barat) sebagai kauh (Sulistyawati, dkk. (1985) dalam Dwijendra, 2003 : 11). Ada juga patokan lain, seperti yang
berlaku pada umumnya di daerah Tabanan, yaitu berdasarkan jalan raya utama (rurung gede). Ruang yang berbatasan
langsung dengan jalan utama merupakan hulu,
sebaliknya merupakan teben. Pembagian
zona hulu teben tersebut merupakan
pembagian zona ruang secara horizontal. Namun di sisi yang lain ada juga
pembagian zona secara vertical. Akasa
merupakan ruang di atas puncak suatu bangunan diyakini sebagai hulu, dan ruang tepat di atas permukaan
tanah merupakan teben.
Hulu
dalam ajaran agama Hindu di Bali
merupakan zona kesucian, sehingga menjadi simbol penempatan hal-hal yang
berhubungan dengan realisasi keyakinan terhadap Sangyang Widhi dan segala
manifestasinya, termasuk roh leluhur yang telah mencapai tingkat kesucian. Sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya bahwa di tingkat rumah tinggal, hulu adalah tempat sanggah atau merajan, termasuk penempatan simbol-simbol Dewa
sebagai media pemujaan terhadap manifestasi Sanghyang
Widhi.
Hal sebaliknya pada zona ruang teben, merupakan zona ruang nista atau lebih rendah jika
dibandingkan dengan zona madya angga apalagi
dengan zona utama angga sebagai hulu. Sehingga dalam keyakinan
masyarakat Hindu di Bali, zona teben dari
segi niskala dapat digunakan sebagai sarana proteksi dari hal-hal negatif. Maka
pada zona ini dibuat angkul-angkul, aling-aling dan patung Dwarapala menjadi kesatuan fungsi
proteksi secara sekala dan niskala (dalam http://cakepane.blogspot.co.id/2015/02/angkul-angkul-atau-gerbang-rumah-adat.html; Dikases pada Sabtu, 8 Oktober
2016; Pkl. 08.59 Wita).
Penempatan patung Gaṇeśa pada angkul-angkul atau di aling-aling
rumah tinggal umat Hindu di Bali, seperti yang terjadi belakangan ini bisa
dipastikan mengandung makna ungkapan keyakinan terhadap Bhatara Gana sebagai Dewa pelindung dari pengaruh unsur-unsur
negatif secara niskala. Patung Gaṇeśa dipakai “melengkapi” bahkan mungkin menggantikan ornament mistik bangunan
angkul-angkul atau aling-aling rumah tinggal umat Hindu
Bali modern.
Penempatan patung Gaṇeśa pun pada bangunan angkul-angkul atau aling-aling
rumah tinggal umat Hindu Bali modern bukan lagi “hanya” sebagai hiasan
ornamen seni belaka (profan).
Bersamaan dengan prosesi upacara yadnya pada
bangunan angkul-angkul atau aling-aling yang disebut mlaspas, patung Gaṇeśa turut mengalami proses sakralisasi. Dalam istilah
Mircea Aliade (dalam Pals, 2001 : 280), patung Gaṇeśa tersebut telah mengalami proses hierofani, yaitu prosesi ritual memasukkan roh kedalam suatu benda
sehingga memiliki kekuatan supernatural sehingga menjadi objek pemujaan. Apalagi
dalam keseharian, umat Hindu senantiasa melakukan ritual persembahan berupa
canang sari atau banten lainnya pada patung Gaṇeśa. Tentu harapannya adalah mereka mendapatkan
perlindungan agar terbebas dari pengaruh unsur-unsur negatif secara niskala.
Apabila dipandang dari estetika Hindu yang
menempatkan kesatuan makna satyam siwam
sundharam, maka penempatan patung Gaṇeśa pada angkul-angkul atau di aling-aling rumah tinggal dalam
perspektif hulu teben tentu
menimbulkan perdebatan. Apabila konsep hulu
teben sebagai zona horizontal, maka tidak etis jika patung Gaṇeśa ditempatkan pada aling-aling atau
di angkul-angkul. Bangunan aling-aling dan angkul-angkul berada di zona teben,
yang dipersepsikan sebagai wilayah rendah atau tidak suci. Aling-aling dan angkul-angkul
merupakan pintu keluar masuk penghuni rumah termasuk tamu, dimana mereka
dalam keadaan tertentu dipandang tidak suci, misalnya perempuan dating bulan,
dilalui mayat ketika anggota keluarga pemilik rumah ada yang meninggal dunia,
dan sejenisnya. Dalam konteks inilah, ada beberapa pihak yang tidak setuju jika
patung Gaṇeśa di halaman apalagi di aling-aling.
“Tidak sembarangan bisa menaruh patung Gaṇeśa di pekarangan rumah, karena patung ini seperti
layaknya sanggah bagi umat Hindu” (http://www.akriko.com/2016/07/makna-patung-dewa-ganesha-bagi-umat.html. Diakses sabtu, 8 Oktober 2016; Pkl. 10.16
Wita).
Hal berbeda ketika zona hulu teben dipahami dari sudut vertikal. Rumah tinggal yang bukan
merupakan rumah bertingkat, dimana tempat tinggal penghuni tidak lebih tinggai
dari puncak bangunan angkul-angkul, maka penempatan patung Gaṇeśa pada angkul-angkul dalam keadaan tertentu masih tertoransi. Dengan kata
lain, rumah bertingkat walaupun menggunakan zona vertikal sebagai acuan, juga
tidak memungkinkan secara etis menempatkan patung Gaṇeśa pada angkul-angkul.
III. Simpulan
Berdasarkan uraian-uraian tersebut penulis dapat berkseimpulan bahwa
penempatan patung Gaṇeśa pada angkul-angkul atau di aling-aling rumah tinggal umat Hindu
Bali modern dimaknai pemiliknya sebagai pemujaan terhadap Sanghyang Gana atau Bhatara Gana dalam rangka melindungi rumah mereka dari pengaruh negatif
kekuatan-kekuatan niskala.
Gejala ini merupakan indikasi sikap keberagamaan masyarakat kontemporer,
yang cenderung mendobrak pakem yang sudah mapan tentang etika dan tata cara
penempatan symbol-simbol agama Hindu. Namun fenomena ini perlu dianalisa secara
mendalam disamping berporos pada konsep satyam
siwam sundharam, juga semestinya mempertimbangkan zona sakralitas dalam
ajaran agama Hindu.
Daftar Pustaka :
Atmadja, I Nengah Bawa, 2016. “Teologi Hindu sebagai
Pondasi Bagi Paradigma Keilmuan”. Prosiding Seminar Internasional Menggali dan Membangun Ilmu Teologi, Teologi
Hindu dan Teologi Lokal dalam Perspektif Teologi Deterministik”. Di
Denpasar, tanggal 27 Juni 2016. Dilaksanakan oleh Jurusan Teologi Fakultas
Brahma Widya IHDN Denpasar. Halaman : 6-16.
Dwijendra, Ngakan Ketut Acwin, 2003. “Perumahan dan
Pemukiman Tradisional Bali”. Dalam Jurnal
Pemukiman “Natah”. Vol. I Nomor 1 Pebruari 2003. ojs.unud.ac.id/index.php/natah/article/
download/2926/2088. Diakses pada 16 Oktober 2016; Pkl. 10.51 Wita.
https://id.wikipedia.org/wiki/Ganesa;
Diakses pada Minggu, 16 Oktober 2016; Pkl. 08.20 Wita.
http://cakepane.blogspot.co.id/2015/02/angkul-angkul-atau-gerbang-rumah-adat.html; Dikases pada Sabtu, 8 Oktober
2016; Pkl. 08.59 Wita
http://www.isi-dps.ac.id/berita/kajian-fungsi-bentuk-dan-makna-angkul-angkul-rumah-adat-penglipuran-bagian-iii/; diakses pada Sabtu, 8 Oktober
2016; pkl. 08.33 Wita
https://sakasuwirna.wordpress.com/2015/05/09/rumah-tinggal-tradisional-bali-sebagai-arsitektur-nusantara/. Diakses pada sabtu, 8 Oktober
2016; Pkl. 09.24 Wita
https://kajianteologi.blogspot.co.id/
2016/05/peranan-penting-dewa-ganesha-dalam.html?m=1;
Diakses pada Minggu, 16 Oktober 2016; Pkl. 10.06 Wita.
Pals, Daniel L., 2001. Seven Theories of Religien. Dari Animisme E.B. Tylor, Materialisme Karl
Marx, Hingga Antropologi Budaya C. Geertz. Yogyakarta : Qalam.
Wirawan, I
Made Adi, 2011. Cahaya Kebijaksanaan
Gaṇeśa, Gaṇeśa Jñāna Pradīpa. Surabaya : Paramita.










5 Komentar:
Ampure,, om swastiastu..
Trus kl berdasarkan satyam siwam sundaram, penempatan ganesa dmana?
Ampure,, om swastiastu..
Trus kl berdasarkan satyam siwam sundaram, penempatan ganesa dmana?
Sepatut ne,,dije ngenahang patung Ganesa sane pas Nike sukseme.
Om Swastiastu,patung napi spatutne genahan di aling2 suksme
Om swastiastu....kalau hanya di tempatkan di Aling aling..LAN Ten di sembahyangin seperti yang di ceritakan diatas...bagaimana???mohon penjelasan..apakah masih bisa hanya sebatas hiasan..???
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda